Sewaktu Nabi mengambil bai’at kepada 70 kaum Anshar, ada seorang pemuda yang banyak menarik perhatian orang-orang. Kulitnya hitam tapi bersih, wajahnya tampan tapi tenang dan bicaranya lancar tapi memikat. Itulah Mu’adz bin Jabal bin Amir bin aus Al-Anshari al Khazraji Abu Abdirrahman atau yang biasa dipanggil Mu’adz bin Jabal. Lahir dua dasawarsa sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Ia memang cepat menarik simpati Rasulullah serta para sahabatnya, karena akhlaknya baik, pengetahuannya luas, daya ingatannya tajam, kesetiannya kepada Rasul tidak diragukan, dan istiqomah, konsisten dalam memegang prinsip-prinsip Islam. Rasulullah pernah bersabda: “Muadz bin Jabal adalah pemimpin golongan ulama di hari qiyamat”. Beliau juga bersabda: “Orang yang paling tahu yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal”.

Hakekat Iman

Semasa hidupnya, Mu’adz dikenal sangat menguasai hukum-hukum Islam. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah menugaskan Mu’adz ke Yaman sebagai Qadhi dalam rangka dakwah Islam. Sebelum berangkat, beliau bertanya: “Wahai Mu’adz, apa yang menjadi pedomanmu dalam memutuskan suatu perkara?”.

Mu’adz menjawab: “Kitabullah”.

“Bagaimana jika kamu tidak menjumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah.

“Saya akan memutuskan dengan Sunah Rasul?”, jawab Mu’adz.

“Jika kamu tidak menemui dalam Sunah Rasul?”,  tanya Rasulullah.

“Saya akan mempergunakan fikiranku untuk berijtihad, dan saya tidak akan bertindak gegabah, sia-sia”, jawab Mu;adz.

Spontan wajah Rasulullah berseri-seri dan bersabda: “Segala puji hanya untuk Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhoi oleh Rasulullah”

Dialog Rasulullah dengan Mu’adz itu di kemudian hari dijadikan hujjah bagi kaum muslimin bila mau memutuskan suatu masalah yang tidak dijumpai dalam ayat-ayat Al-Quran maupun Hadits-hadits Nabi.

Di tempat tugasnya itu, di negeri Yaman, Mu’adz sangat aktif mengembangkan Islam. Seorang demi seorang dan serombongan demi serombongan berhasil dilunakkan hatinya. Mereka memeluk Islam dan menjadikan Islam sebagai pedoman hipupnya.

Suatu pagi, ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bertemu dengan Mu’adz, beliau bertanya: “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Mu’adz?”. Muadz menjawab: “Pagi ini aku benar-benar telah beriman!”

Beliau lantas bersabda: “Setiap kebenaran memiliki hakikatnya. Maka apakah hakikat keimananmu, wahai Mu’adz?”  Mu’adz menjawab: “Hakikat keimananku ialah setiap pagi aku selalu menduga tidak akan bertemu dengan sore. Dan setiap sore aku selalu menduga tidak akan bertemu dengan pagi lagi. Setiap kakiku melangkah, aku selalu menyangka tidak akan diiringi lagi dengan langkah-langkah lainnya. Dan seolah-olah aku menyaksikan penduduk surga sedang menikmati kesenangan yang tiada taranya. Sebaliknya penduduk neraka sedang menanggung siksa dan derita yang tak terhingga”.

Mendengar jawaban Mu’adz, beliau langsung bersabda: “Memang engkau telah mengetahuinya, maka peganglah, dan jangan engkau lepaskan!”

Di waktu yang lain, Rasulullah juga bersabda: “Hai Mu’adz. Demi Allah, saya sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap selesai shalat berdoalah: “Ya Allah bantulah aku untuk selalu ingat dan bersyukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu”.

Mendengar sabda Rasulullah, ia bersyukur kepada Allah, seraya memohon kepada-Nya agar diberi kekuatan untuk melaksanakannya.

Tempat Bertanya

Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar Ash-shiddiq diangkat menjadi Khalifah. Dan Mu’adz tetap melanjutkan dakwah Islam di Yaman, hingga orang-orang Yaman menjadi bertambah mantap imannya. Sewaktu Umar ibnul Khattab menggantikan Abu Bakar, Mu’adz ditugaskan menjadi gubernur di Syam. Dan seperti waktu di Madinah dan di Yaman, Mu’adz tetap menjaga kemuliaan akhlaknya, seperti menghormati orang tua, menolong sesamanya, santun, dermawan dan tekun beribadah. Sehiggga simpati orang pun bertambah. Mereka datang mengadukan berbagai masalah, dan selalu dijawab dengan ramah tanpa keraguan sedikitpun karena yang disampaikan hanya berasal dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Mu’adz bukan hanya luas ilmunya namun juga tekun mengamalkannya. Berulang kali ia selalu berkata: “Pelajarilah ilmu yang kamu sukai tapi Allah tidak akan memberikan kemanfaatan ilmunya itu sebelum kamu mengamalkannya lebih dahulu”.

Pada kesempatan lain ia berpesan: “Jagalah tergelincirnya orang berilmu di mata orang banyak lantaran silau melihat kedudukan tinggi, sebab bagaimana pun juga dia tetap akan diikuti mereka kendatipun dia tergelincir”

Aidzullah bin Abdillah radhiyallahu anhu pernah menceritakan pengalamannya sewaktu berada di dalam Masjid ketika Umar baru saja dilantik sebagai Khalifah.

Di suatu majelis, hadir sekitar 30-an orang. Masing-masing hadirin menyebutkan sebuah hadits yang pernah mereka terima langsung dari Rasulullah. Pada pertemuan itu duduk di tengah-tengah seorang pemuda berkulit hitam yang baik tutur katanya. Ia merupakan anggota termuda dalam mejelis itu.

Pada setiap dijumpai keraguan terhadap hadits yang pernah mereka terima dari Rasulullah, selalu  orang menanyakan kepada pemuda itu, dan selalu dijawab dengan jelas dan mantap. Ia tidak sombong lantaran kepandaiannya. Ia tetap lemah lembut, hormat kepada setiap anggota majelis, dan tidak berbicara jika tidak diminta.

Sewaktu acara bubaran, saya dekati anak muda itu dan saya tanyakan siapa namanya. Dia menjawab, ‘Saya Mu’adz bin Jabal’. Pengakuan serupa juga datang dari Abu Muslim Al-Kahuli, Shar bin Hausyab dan Khalifah Umar bin Ibnul Khattab rdhiyallahu anhum.

Shahar malah berkata: ”Bila para sahabat berbicara dan dalam pembicaraan itu ditemui kesulitan, jika di situ ada Mu’adz semuanya sepakat akan meminta pendapat kepadanya”

Amirul Mukminin Umar bin Ibnul Khattab berulang kali meminta pendapatnya tentang barbagai persoalan yang tidak bisa dipecahkan sendiri. Secara jujur, Umar pernah meminta nasehatnya yang membuat ia selamat dari marabahaya yang mengancamnya, sehingga Umar berkata, ”Seandainya Allah tidak menghadirkan Mu’adz, akan  celakalah Umar”.

Itulah Mu’adz bin Jabal yang pernah menyampaikan pesan Rasulullah: ”Tidak ada seorang pun hamba yang menghadap Allah pada hari Kiamat dan tidak akan menggerakkan telapak kakinya sehingga ia ditanya mengenai empat perkara: (1) Bagaimana badannya digunakan? (2) Bagaimana umurnya dihabiskan? (4) Bagaimana ilmunya diamalkan? (4) Bagaimna hartanya diperoleh dan dibelanjakan?!”

Sangat Tenang

Mu’adz merupakan cendikiawan muda yang arif bijaksana. Sejarah banyak berhutang budi kepadanya. Banyak ucapan, perbuatan dan tindakan Nabi yang menjadi pedoman kaum muslimin dalam suatu masalah, telah disampaikan secara benar oleh Mu’adz.

Kejelian pandangan, kecermatan tinjauan, kearifan tindakan menyatu pada diri Mu’adz. Kaum muslimin benar-benar kehilangan ketika usianya yang masih muda (33 tahun), dipanggil ke hadirat Allah  Subhanahu wa-ta’ala. Namun ia telah siap kembali kepada-Nya. Tatkala malaikat maut datang menjemputnya, banyak orang menyaksikan Mu’adz menatap ke atas sambil mulutnya berkata dengan tenang: “Ya Allah, sesungguhnya kami mengakui, selama ini kami takut kepada-Mu, tapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau sangat mengetahui bahwa kami tidak mencintai dunia demi mengalirkan air sungai atau menanam pohon, kecuali hanya sekedar menutupi kehausan kami di kala panas dan menghadapi saat-saat yang kritis, serta untuk menambah ilmu keimanan dan keta’atan”.

Selesai berkata demikian, ia seperti mengulurkan tangannya menjabat tangan Malaikat pencabut nyawa. “Selamat datang wahai kematian. Kekasih yang datang di kala sedang diperlukan”.

Mu’adz bin Jabal pun menghembuskan nafasnya yang penghabisan Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Sesungguhnya semua itu milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Allahu a’lam bsh-showab

Tulisan dari Badruzzaman Busyairi   (Allahu Yarham)

Leave a Reply

Your email address will not be published.