Suatu hari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu mengunjungi rumah Rasulullah, dan mendapati beliau sedang mengurung diri di rumhnya karena menghadapi persoalan internal keluarganya. Sehingga beredar isu, beliau akan menceraikan istri-istrinya. Padahal waktu itu suhu pemerintahan sedang genting. Dua kekuatan besar, yaitu kerajaan Ghassan dan tentara Romawi, mau menyerbu Madinah. Mereka bersekongkol dengan orang-orang munafik di Madinah yang terus menerus memecah belah kaum muslimin.
Umar sangat prihatin sekali, dan mencoba menemui Rasulullah di dalam rumahnya. Dan betapa kagetnya Umar ketika menyaksikan isi rumah Rasulullah yang sangat sederhana sekali. Di dalam rumah beliau, hanya ada dua buah mangkok kecil, sehelai kulit binatang yang telah disamak, sehelai tikar dan sebuah bantal keras karena isinya sabut. Itu saja. Tak ada barang lainnya.
Di dalam rumah yang sangat sederhana seperti itu, beliau berbaring di atas tikar tanpa kasur, sehingga anyaman tikarnya membekas di tubuh beliau. Umar terharu dan menangis sedih, tidak menyangka sama sekali betapa sederhananya hidup Rasul, padahal beliau seorang pemimpin yang pengaruhnya ketika itu meliputi seluruh jazirah Arabia, dan dua adidaya di masa itu, kaisar Romawi dan Parsi. Umar merasa terharu dan menangis sedih. “Wahai Rasulullah, mendoalah kepada Allah,wahai Rasulullah, semoga Dia melapangkan pengidupan umat engkau. Bukankah Dia telah melapangkan penghidupan di Persia dan Romawi padahal mereka tidak menyembah Allah ?”
Mendengar permintaan sahabatnya itu, Rasulullah lalu duduk bersila dan bersabda:”Wahai Umar, apakah engkau masih ragu. Mereka memang disegerakan untuk menerima segala kebaikan dalam hidup di dunia” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas R.A).
Pada riwayat lain, beliau bersabda:
“Apakah engkau tidak rela keduanya memiliki dunia, sedang engkau memiliki akhirat ?”
Jawaban Rasulullah itu tidak mengada-ada, karena kesederhanaan itu telah menjadi sifat dan sikap hidup beliau yang terlihat nyata oleh umat manusia
Hidup Itu Berjuang
Hidup di dunia ini merupakan perjuangan untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Oleh karena itu biarlah berpahit-pahit dulu untuk mengejar kebahagiaan di akhirat: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Begitu orang-orang tua dulu sering mengatakan.
Memang sering terjadi di tengah-tengah limpahan harta, atau sedang berada di puncak kesuksesan dan kejayaan, muncul berbagai macam ujian. Tidak sedikit manusia yang jatuh terpelanting, karena tidak tahan menghadapi ujian. Dia tidak sadar bahwa dirinya sedang diuji oleh Allah, berupa kelapangan rezeki dan berbagai macam kemudahan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Padahal Allah telah mengingatkan kepada para hamba-Nya;
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan” (QS. Al-Anbiyaa’, 35)
Dengan ayat Allah itu (QS. Al-Anbiyaa’ 35) jelaslah bahwa ujian atau cobaan itu ada dua macam. Yaitu berupa keburukan, kesusahan, kepahitan, penderitaan, dan sejenisnya. Itu ujian yang pertama. Sedang ujian atau cobaan yang kedua, berupa kebaikan, kenikmatan dan berbagai macam kemudahan dalam hidup dan kehidupan.
Dalam suasana kebaikan, segala macam kenikmatan terasa mudah diperoleh. Dalam suasana seperti itu, semestinya manusia harus banyak bersyukur nikmat, yaitu dengan lebih mendekatkan dirinya kepada Allah dengan memperbanyak amal ibadah, baik ibadah yang sudah tertentu bentuknya (seperti shalat, puasa, haji, umroh, zakat, dan lain lain), maupun amal ibadah yang umum sifatnya (seperti menolong fakir, miskin, dan orang-orang lain yang sedang memerlukan pertolongan, dsb.).
Namun apa yang kemudian terjadi ? Biasanya orang menjadi lupa diri, tidak mampu lagi memberdayakan syukur nikmat kepada Allah. Hatinya menjadi tumpul, sehingga tidak lagi peka terhadap keadaan lingkungan sekitar yang masih sangat memprihatinkan. Padahal keadaan di sekitarnya sangat memerlukan perhatian dan uluran tangannya.
Author : Badruzzaman Busyairi