Pasca penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah telah melakukan berbagai langkah untuk mengembangkan risalah Islamiyah. Salah satu di antaranya dengan mengirimkan surat-surat  kepada para kepala pemerintahan dan pembesar di berbagai negara. Surat-surat itu didiktekan kepada sekretarisnya lalu beliau stempelkan dengan stempel perak bertuliskan “Muhammad Rasul Allah”. Surat-surat itu berisi ajakan untuk masuk Islam, dan disampaikan antara lain kepada Kaisar Romawi, Kaisar Persia, Raja Mesir, Raja Ethiopia, Raja Oman,  Syria,  dan Bahrain.

Para pembesar yang dikirimi surat itu, umumnya telah mengetahui adanya Agama yang baru, yaitu Islam, serta mengenal Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu alaihi wassalam meski mereka belum pernah bertemu langsung dengan beliau. Namun mereka umumnya telah mengenal pribadi Nabi yang lurus dari berbagai pembicaraan orang orang: Tidak pernah berdusta, tidak pernah berkata kotor, tidak pernah memfitnah, tidak pernah berzina, tidak pernah minum khamar, tidak pernah berbuat dzalim, dan sebagainya. Sebaliknya mereka justru mengenal pribadi Muhammad sebagai orang yang jujur, adil, santun, berbudi luhur, pemaaf, dermawan, pelindung orang-orang lemah, pembela kebenaran, dan sebagainya

Surat Kepada Kaisar Rumawi

Surat Nabi  yang dikirm kepada Kaisar Romawi Heraclius, dibawa oleh Dihyah bin al-Qalbi. Dan sesuai pesan Nabi, surat itu diberikan melalui pembesar Bushra kepada Kaisar di Baitul Maqdis. Sebab sebagaimana diceritakan dalam berbagai catatan sejarah, kekuasaan Kaisar Heraclius ketika itu sangat luas, meliputi wilayah-wilayah di Eropa, Asia dan Afrika.

Ketika surat itu sampai di tangan Kaisar, Abu Sufyan bin Harb (bukan Abu Sufyan bin Harits yang memeluk Islam setelah Fathul Makkah) bersama 30 orang Quraisy lainnya sedang berada di negeri Syam atau Palestina sekarang. Abu Sufyan dan kawan-kawannya itu masih kafir, dan sangat memusuhi Nabi serta ajaran-ajaran yang dibawanya. Namun karena adanya Perjanjian Hudaibiyah, permusuhan itu “mereda”.

Abu Sufyan lantas dipanggil dan diikut-sertakan oleh Kaisar Heraclius dalam rangka mendapatkan informasi yang berimbang, lengkap dan akurat tentang pribadi Nabi dan ajaran-ajaran yang dibawanya. Salah satu di antaranya dengan mendengarkan informasi dari sumber lain, yakni dari musuh-musuh Nabi seperti  Abu Sufyan.

Setelah Kaisar memanggil penterjemahnya, dia bertanya kepada hadirin yang berasal dari Mekkah: “Siapakah di antara kalian yang memiliki ikatan darah yang paling dekat dengan orang yang mengaku Nabi ?”.

Abu Sufyan menjawab: “Saya”.

Mendengar  jawaban itu, Kaisar berkata: “Kalau begitu majulah kemari”.

Abu Sufyan lalu maju duduk paling depan, sementara 30 orang rekannya dan utusan Nabi berada di belakang, sehingga tanpa disadari, Abu Sufyan telah menjadi “pen-da’wah” Islam bagi para pembesar Romawi, dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan Kaisar seputar pribadi Nabi.

Proses tanya-jawab antara Abu Sufyan dan Kaisar berlangsung terbuka.

“Aku akan bertanya tentang orang yang mengaku Nabi kepada orang ini”, kata Kaisar menunjuk ke arah Abu Sufyan. “Jika dia berbohong, maka beritahukanlah kebohongan dia kepadaku”, lanjut Kaisar kepada orang-orang Quraisy yang berada di belakang Abu Sufyan.

Mendengar pernyataan Kaisar, Abu Sufyan bergumam sendiri: “Demi Allah, kalau bukan karena rasa malu jika dia tahu mereka lebih banyak membohongiku, tentu aku akan berkata bohong kepadanya”.

Kaisar lalu menanyakan status sosial Muhammad di masyarakat Quraisy, dan dijawab oleh Abu Sufyan sebagai seorang bangsawan. Dari sini dialog kemudian berlanjut sebagai berikut;

Kaisar Heraclius (KH): Apakah Muhammad turunan raja ?

Abu Sufyan (AS): Bukan.

KH: Pernahkah kalian mengatakan Muhammad pembohong, sebelum mengaku menjadi Nabi ?

AS: Tidak.

KH : Siapakah yang menjadi pengikutnya, orang-orang besar atau rakyat kecil ?

AS: Hanya rakyat kecil.

KH: Apakah pengikutnya selalu bertambah atau berkurang ?

AS: Selalu bertambah.

KH: Adakah pengikutnya yang murtad karena benci kepada agama yang dikembangkannya itu ?

AS: Tidak ada.

KH: Pernahkah kamu berperang dengannya ?

AS: Pernah. Peperangan kami berjalan silih berganti, antara menang dan kalah. Terkadang kami yang menang dia yang kalah, dan terkadang kami yang kalah dia yang menang.

KH: Pernahkah dia mengingkari janji ?

AS: Tidak. Bahkan sekarang ini kami sedang dalam perjanjian damai. Yaitu tidak akan saling menyerang. Saya sendiri tidak tahu apa yang bakal diperbuat Muhammad terhadap perjanjian sekarang ini. Demi Allah, tidak ada kalimat lain yang dapat kuucapkan selain itu.

KH: Apakah ada orang lain sebelum dia yang mengaku menjadi Nabi ?

AS: Tidak ada.

Komentar Kaisar Heraclius

Setelah mendengar jawaban demi jawaban dari Abu Sufyan, melalui penterjemahnya Kaisar Heraclius menyampaikan sikap-sikapnya di depan hadirin, sebagai berikut:

Sewaktu kutanyakan kepadamu (Abu Sufyan) tentang status sosial Muhammad, kau katakan: Dia adalah bangsawan. Memang demikianlah. Semua Rasul dibangkitkan dari kalangan bangsawan di kaumnya.

Sewaku kutanyakan, apakah dia keturunan raja ? Kau jawab: Bukan. Maka komentarku; Kalaulah bapak atau kakeknya ada yang menjadi raja, tentu dia pantas mengaku menjadi Nabi untuk mengembalikan kekuasaan nenek-moyangnya.

Sewaktu kutanyakan, apakah pengikutnya terdiri dari orang-orang kecil atau pembesar-pembesar? Kau jawab: Hanya terdiri dari rakyat kecil. Memang pengikut para Rasul adalah orang-orang kecil.

Sewaktu kutanyakan, pernahkah kamu menuduh Muhammad sebelum dia mengaku menjadi Nabi sebagai pembohong?. Kau jawab: Tidak. Memang begitulah bila iman telah tertanam dalam hati seseorang.

Sewaktu kutanyakan, apakah pengikutnya berkurang? Kau jawab: Tidak malah bertambah. Ya, memang seperti itulah iman hingga sempurna.

Sewaktu kutanyakan, apakah engkau pernah memeranginya? Kau jawab: Pernah. Dan peperangan berjalan silih berganti, terkadang menang terkadang kalah. Memang demikianlah, para Rasul selalu diuji. Namun kemenangan terakhir berada di fihak Rasul.

Sewaktu kutanyakan, pernahkah dia mengingkari janji? Kau jawab: Tidak pernah. Memang demikian para Rasul tidak pernah mengingkari janjinya.

Sewaktu kutanyakan, apakah ada orang lain sebelum Muhammad yang mengaku menjadi Nabi seperti dia? Kau jawab: Tidak. Maka komentarku, kalau ada orang lain sebelum dia yang mengaku menjadi Nabi, mungkin Muhammad hanya ikut-ikutan dengan orang sebelumnya.

Sewaktu kutanyakan, apa saja yang diperintahkan Muhammad kepadamu? Kau jawab: Dia menyuruh  shalat, membayar zakat, menghubungkan silaturrahim dan hidup suci. Maka komentarku: Jika yang engkau katakan benar semuanya, maka tak salah lagi orang itu memang benar-benar seorang Nabi. Aku sudah mengetahui bahwa dia akan muncul. Tapi aku tidak menduga sama sekali jika dia muncul dari kalangan kalian. Kalaulah aku yakin dapat menemuinya, aku benar-benar ingin mengetahuinya. Dan nanti, kalau aku sudah berada di dekatnya, aku akan membasuh kedua telapak kakinya. Dan daerah kekuasannya kelak, akan sampai ke daerah kekuasaanku.

Surat Nabi

Selesai memberi komentar, Kaisar lalu meminta surat Nabi yang ditujukan kepadanya. Surat itu berbunyi:

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah kepada Heraclius, pembesar Romawi. Berbahagialah orang-orang yang mengikuti petunjuk.

Kemudian, aku mengajak anda masuk Islam. Islamlah anda, niscaya anda selamat. Islamlah anda, niscaya Allah akan memberi pahala berlipat ganda kepada anda. Tapi jika anda menolak, maka anda akan menanggung dosa seluruh rakyat anda.

Hai Ahli Kitab, marilah (menuju) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan di antara kami dengan kamu. bahwa; kita tidak akan menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak akan mempersekutukan Dia dengan sesuatu apa pun, dan  tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam”

Selesai surat Nabi dibaca, istana kaisar menjadi heboh. Abu Sufyan dan utusan Nabi yang membawa surat itu, digiring keluar. Setelah keluar, pintu-pintu istana segera ditutup rapat. Abu Sufyan pun keluar sambil menggerutu: “Sungguh luar biasa urusan Ibnu Abi Kabsyah sehingga ditakuti raja bangsa kulit kuning”.

(Abu Kabsyah adalah suami Halimatusy Sya’diyah yang menyusui Nabi semasa kecil. Ibnu Abi Kabsyah, artinya, anak Abu Kabsyah, ejekan musyrikin Mekkah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam).

Meski menggerutu, dalam hatinya Abu Sufyan meyakini bahwa Agama yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu alaihi wasallam  kelak akan menang menghadapi imperium Romawi yang kuat perkasa sekalipun. Sementara itu, meski Kaisar mengakui kebenaran Islam dan memuji pribadi Nabi di hadapan para pembesar Romawi,  ia tetap menolak masuk Islam, karena takut  kehilangan kekuasannya. Dengan penuh kemunafikan, Kaisar Heraclius berkata kepada para pembesarnya: “Sesungguhnya apa yang kukatakan kepada kalian hanyalah untuk menguji keteguhan kalian terhadap agama kalian”.

Akibat kemunafikannya itu, di belakang hari kekuasan Kaisar Heraclius turun drastis. Bahkan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-shiddiq dan Umar bin Khattab Radhiyallahu anhum.  kekuasannya dihancurkan oleh prajurit-rajurit Islam, persis seperti keyakinan Abu Sufyan. Sedang Abu Sufyan sendiri kemudian memeluk Islam dan menjadi pembelanya yang setia.

Allahu a’lam bish-showab.

Author : Badruzzaman Busyairi

Leave a Reply

Your email address will not be published.