Keberanian Para Umahat Membantu Dakwah Nabi Muhammad SAW

Ketika Rasulullah bersama para pengikutnya sedang berperang melawan tentara musyrikin di luar kota Madinah, para istri Nabi dan kaum muslimat lainnya menunggu di Madinah sambil berdoa untuk keselamatan dan kemenangan Nabi dan tentaranya. Mereka ditempatkan di suatu benteng milik Hasan bin Tsabit.

Nah, ketika mereka sedang berada dalam benteng, datang mengendap-endap seorang Yahudi di benteng itu. Tak seorang pun mengetahuinya kecuali Safiyah. Begitu melihat gelagat yang mencurigakan, Safiyah segera menyuruh Hasan (pemilik benteng itu) untuk turun menangkapnya. “Turunlah dan bunuhlah orang Yahudi itu !” kata Safiyah kepada Hasan.

Hasan ketakutan. Sebaliknya Safiyah segera mengambil tongkat, dan turun sendirian ke bawah. Dengan pelan-pelan, Safiyah membuka pintu benteng, dan langsung mencocok si Yahudi itu, sehingga dia terkejut, tidak menyangka kalau pengintaiannya diketahui Safiyah. Si Yahudi itu mencoba melawannya, tapi Safiyah lebih sigap lagi, sehingga Yahudi tadi lari tunggang langgang.

Sementara itu, di medan pertempuran Uhud tersiar berita, tentara Islam mengalami kekacauan lantaran sepasukan pemanah yang ditempatkan di atas bukit, melanggar perintah Nabi. Mereka turun mengejar musyrikin Makkah yang lari meninggalkan harta rampasan perang. Mengetahui pasukan pemanah yang ada di atas bukit lari mengejarnya, musuh segera berbalik melalui jalan lain, dan membokong tentara Islam dari belakang, sehingga tentara Islam lari menyelamatkan diri.

Mendengar kekacauan di Uhud, Safiyah segera bangkit meninggalkan Madinah, menuju ke medan Uhud. Ia mengacungkan tombaknya kepada tentara Islam yang mundur, seraya berteriak lantang “Kalian lari dari Rasulullah ?!”.

Melihat kehadiran Safiyah dengan semangat jihad yang berkobar-kobar, Rasulullah kaget dan cemas lantaran kodrat wanita itu halus perasaannya dan lembut jiwanya. Apalagi tentara musuh bertindak bringasi dan sangat biadab. Begitu biadabnya, sampai dada Hamzah, paman Nabi, yang sudah syahid dirobek-robek hingga ususnya terburai keluar, jantungnya dibetot, dan dikunyah-kunyah oleh Hindun.

Nabi pun melarang Safiyah melihat jasad Hamzah yang sangat mengenaskan. Beliau menyeru Zubair menahan ibunya, agar jangan sampai melihat jasad Hamzah yang sudah koyak-koyak. Zubair lalu berteriak memanggil ibunya, namun tidak dihiraukan. “Pergilah! Tidak ada ibumu di sini!”, kata Safiyah kepada putranya.

Itulah Safiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah yang sangat pemberani, sebagaimana diungkapkan kembali oleh Ibn Sa’ad, sejarahwan di abad permulaan Islam.

Kisah Ummu ‘Imarah

Kisah nyata yang serupa diperlihatkan kepada dunia oleh Nasibah binti Ka’ab atau yang dikenal dengan nama Ummu ‘Imarah. Dia adalah seorang ibu yang menyaksikan langsung Baiat Aqabah pertama di tahun ke-12 dari kenabian (621 M). Sejak pertama kali dibai’at, dia selalu membawa tanggung jawab perjuangan dakwah Islam dan selalu ikut serta dalam membelanya, tak terkecuali di medan perang.

Pada saat terjadi perang Uhud seperti yang disebutkan di muka, misalnya, dia sudah berdiri tegar melindungi Nabi, sedang tangannya tak henti-hentinya menyabetkan pedangnya untuk menangkis senjata musuh yang diarahkan kepada diri Nabi. Banyak shahabat Nabi yang berguguran. Sementara yang masih selamat segera melindungi diri Nabi membentuk tameng hidup. Salah satu tameng hidup itu adalah Ummu ‘Imarah.

Bersama beberapa orang shahabat lainnya, Ummu ‘Imarah dengan penuh semangat melindungi Nabi dari lemparan tombak, panah dan sabetan pedang musuh. Berulang kali sabetan pedang Ummu ‘Imarah melukai panglima musuh, Ibnu Qami’ah, dan prajurit-prajurit yang menyertainya. Dan berkat pertolongan Allah, Nabi pun selamat, Ummu ‘Imarah dan shahabat-shahabat lainnya juga selamat, meski 70 orang lainnya gugur sebagai syuhada. Sedang yang selamat pun mengalami luka-luka. Ummu ‘Imarah sendiri tubuhnya dipenuhi luka-luka di 12 tempat.

Beberapa tahun setelah petempuran Uhud, Rasulullah mengutus salah seorang putra Ummu ‘Imarah, Habib namanya, untuk menemui orang yang mengaku sebagai nabi dan mendapat banyak pengikut. Dia adalah Musailamah yang dijuluki “Al-Kadz-dzab” alias pendusta. Habib lalu menyampaikan pesan Nabi kepada Musailamah untuk menanggalkan kedustaannya dan memeluk Islam secara benar. Tapi Musailamah menolaknya, bahkan membalasnya dengan membunuh utusan Nabi dengan sangat keji. Tubuh Habib dipotong-potong dan disayat-sayat.

Mendengar anaknya dibunuh secara biadab, Ummu ‘Imarah mencoba untuk tetap sabar menghadapinya. Ia bersumpah tidak akan mati sebelum Musailamah mati atau dibunuh oleh tangannya sendiri. Ummu ‘Imarah bersama anaknya yang satu lagi, Abdullah, lantas bergabung dengan pasukan Khalid bin Walid menuju ke kota Yamamah, markas Musailamah Al-Kadz-dzab.

Dengan semangat jihad fi sabilillah, Ummu ‘Imarah menyelinap bersama Khalid dan tentaranya menyelusup ke persembunyian Musailamah. Di tempat persembunyiannya itu, Musailamah dikawal ketat oleh para prajuritnya. Khalid bersama pasukan elitnya berikut Ummu ‘Imarah, langsung menyerang, sehingga terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat. Banyak prajurit Islam yang syahid. Putra Ummu ‘Imarah sendiri syahid. Dan ia menyaksikan langsung ketika anaknya menghembuskan nafas terakhirnya, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Semangat jihad Ummu ‘Imarah semakin mendidih. Di bawah panglima perang Khalid bin Walid pula, akhirnya kelak Musailamah mati terbunuh. Dan seperti dalam pertempuran yang pertama, Allah memberikan pertolongan kepada prajurit-prajurit-Nya yang berjuang di jalan-Nya. Musailamah Al-Kadzdzab mati. Ummu ‘Imarah selamat dan pulang ke Madinah dengan tangan yang terputus, dan tubuh yang penuhi luka-luka.

Demikian ruhul jihad Ummu ‘Imarah, sebagaimana banyak diungkapkan oleh buku-buku sejarah awal perjuangan Islam. Semangat juang yang bertolak belakang dengan wanita-wanita yang selalu menuntut persamaan hak antara wanita dengan pria. Suatu tuntutan yang tidak proporsional sehingga membuat harga diri mereka menjadi rendah. Atas nama emansipasi, semangat gender, mereka merasa bangga ketika wanita-wanita muda dieksploitir dan menjadi obyek nafsu birahi kaum pria.

Pengeksploitasi nafsu seks itu terlihat nyata, ketika wanita-wanita muda mau dipertontonkan auratnya secara terbuka lebar kepada publik. Dengan mengatas namakan kebebasan, persamaan, dan hak azasi manusia, mereka pamerkan tubuhnya sehingga terpancing nafsu syahwat kaum pria. Mereka tidak sadar, bahwa yang mereka pertontonkan itu merupakan harga dirinya, martabatnya, dan kehormatannya. Mereka juga tidak sadar, bahwa pengeksploitasi kemolekan tubuh itu terjadi hanya ketika mereka masih muda belia, tapi ketika sudah berangkat tua akan dicampakkan begitu saja. Sungguh menjijikkan.

Mereka memang sedang tergiur oleh bujuk rayu syetan yang menampakkan dirinya melalui popularitas, seni dan harta. Mereka tidak sadar, bahwa Allah sebagai Pencipta dan Pelindungnya sangat murka melihat sikap dan tabiat mereka. Padahal kemurkaan Allah tak ada yang bisa membendungnya kecuali melalui taubatan-nasuha, taubat yang sungguh-sungguh.

Allahu a’lam bish-showab.
Badruzzaman Busyairi

Leave a Reply

Your email address will not be published.