Assalamualaykum ikhwani wa akhwat fillah. Zakat adalah perintah Allah yang wajib ditunaikan bagi setiap muslim yang telah memiliki kewajiban berzakat atau shodaqoh. Secara syar’i antara keduanya (zakat dan shodaqoh) memiliki persamaan (jangan dipahami orang yang sedekah gugur kewajibannya dalam berzakat meski sudah memenuhi syarat wajib zakat) . Dalam Al-Qur’an, perintah mengeluarkan zakat berarti juga perintah mengeluarkan shodaqoh. Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fiqhuz-Zakah mengutip pernyataan Al-Qadhi Abul Hasan al-Mawardi (wafat 450 H) dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniah: “Shodaqoh itu adalah zakat, dan zakat itu adalah shodqoh, berbeda nama tetapi artinya sama”.

Secara bahasa antara keduanya memang ada berbedaan. Zakat berasal dari kata “Zaka” yang berarti: suci, tumbuh, berkah dan bisa juga berarti terpuji. Oleh karena itu orang yang berzakat, berarti ia sedang menyucikan dirinya dan hartanya dari segala kotoran (dosa) dan keragu-raguan (subhat) karena bisa jadi, harta yang diperolehnya itu tidak halal, tercemar dengan yang haram atau meragukan antara halal dan haramnya.

Setelah dicuci bersih, maka harta itu akan tumbuh dan berkembang menjadi baik dan berkah. Oleh karena itu, orang yang banyak mengeluarkan harta bendanya untuk membantu fakir miskin dan berbagai kepentingan di jalan Allah, tidak menjadikan yang bersangkutan jatuh miskin. Banyak di antara sahabat Nabi yang kekayaannya bertambah, setelah mengeluarkan zakat, shodaqoh, infaq atau wakaf. Sekedar untuk menyebutkan nama, misalnya, Abdurrahman bin Auf, Ustman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Sedang shodaqoh atau sedekah, berasal dari kata”Shidq” artinya benar. Yakni melambangkan kebenaran iman, dan melambangkan orang yang bershodaqoh itu membenarkan adanya Hari Pembalasan. Rasulullah bersabda:

“Ash-shodaqotu burhaanun” (Shadaqoh itu adalah bukti – HR. Muslim).

Dengan memahami makna yang demikian, maka orang yang berzakat atau bershodaqoh itu menyadari akan tanggung jawabnya terhdap harta yang ada pada dirinya. Dia juga menyadari bahwa dalam hartanya itu terdapat bagian orang lain yang sangat membutuhkan, yakni orang-orang fakir, miskin, dan orang-orang dhuafa lainnya, baik mereka meminta atau tidak meminta (QS. Al-Ma’arij 24-25).

Dengan cara seperti itu, maka harta yang telah dizakati akan dipelihara oleh Allah sehingga menjadi suci dan berkah, serta terhindar dari berbagai kerusakan. Rasulullah bersabda: “Maa naqasha maalun min shodaqotin” (Tidak akan berkurang harta karena sodaqoh – HR. Turmudzi dari Abu Kabsyah al-Anmari)

Allah menyerukan kepada Rasul-Nya untuk mengambil harta orang yang berpunya;

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, (karena) dengan zakat itu kamu membersihkan (mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebihan terhadap harta benda), dan mensucikan (sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda) mereka, dan berdoalah untuk mereka” (QS. At-Taubah 103).

Ketika Rasulullah menugaskan Mu’adz ke Yaman, beliau juga berpesan:

“Wahai Mu’adz, sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari golongan yang berkitab. Maka suruhlah mereka untuk mengakui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah, dan aku ini (Muhammad) adalah Utusan Allah. Jika mereka telah mematuhinya, maka jelaskan bahwa Allah menugaskan mereka untuk mendirikan shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka telah mematuhinya, maka jelaskan bahwa Allah menugaskan mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari para hartawan untuk diberikan kepada orang-orang fakir miskin. Jika mereka telah mematuhinya, maka kamu jangan mengambil harta mereka. Jagalah dirimu dari doa orang yang teraniaya, karena tak ada hijab antara doa orang yang teraniaya dengan Allah” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a).

Kekecewaan Nabi

Rasulullah sangat kecewa sekali kepada Tsa’labah bin Hatib, karena tidak mau mengeluarkan zakat, padahal ketika dia masih miskin telah berjanji akan berzakat manakala sudah menjadi orang kaya. Dia berulang kali memohon kepada Rasulullah agar didoakan menjadi orang kaya. Beliau keberatan memenuhinya, namun karena didesak berulang kali, akhirnya beliau memenuhi permintaannya.

Allah kemudian mengabulkan doa Nabi-Nya, sehingga Tsa’labah pun tumbuh menjadi orang yang kaya raya. Seekor domba yang baru saja dibelinya, beranak pinak hingga berkembang biak sangat banyak dan tersebar dimana-mana sampai di luar Madinah. Hal ini membuat Tsa’labah sibuk mengurusinya dan tidak bisa lagi shalat berjamaah di masjid dengan Nabi.
“Celakalah Tsa’labah”, kata Nabi berulang kali ketika mengetahui Tsa’labah tidak lagi shalat berjamaah.

Ketika Allah menurunkan perintah berzakat bagi para hamba-Nya (QS At-Taubah, 103), Nabi lalu mengutus dua orang sahabatnya untuk mengambil zakat orang-orang kaya termasuk Tsa’labah. Tetaapi dengan berbagai macam alasan, Tsa’labah tidak mau memberikan zakatnya, sehingga turun firman Allah, yang artinya:

“Di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh’. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling. Dan memang mereka itu orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah munculkan kemunafikan dalam hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri apa yang telah mereka ikrarkan kepada Allah dan (juga) karena mereka selalu berdusta. Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib” (QS. At-Taubah 75 – 78).

Nabi, Abu Bakar & Umar Menolak

Mendengar Allah telah menurunkan wahyu-Nya, Tsa’labah menjadi gusar dan buru-buru menyerahkan zakatnya kepada Nabi. Tapi beliau menolak hingga akhir hayatnya. Tsa’labah kemudian menyerahkan zakatnya kepada Khalifah Abu Bakar, namun Abu Bakar juga menolaknya. Sepeninggal Abu Bakar, dia lalu menyerahkan zakatnya kepada penggantinya, Umar bin Khattab. Khalifah Umar pun menolaknya. Bagi Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhum, pantang menerima zakat Tsa’labah kalau Nabi telah menolaknya. Kedua sahabat itu memang teramat sangat patuh dan tha’at kepada beliau, melebih kepada lainnya, selain Allah Rabbul Izzati.

Tsa’labah akhirnya meninggal dalam keadaan ditolak zakatnya oleh Nabi dan dua orang Khalifah yang melanjutkannya. Padahal zakat adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat berzakat. Penolakan Rasulullah itu merupakan isyarat, betapa berat hukuman yang bakal diterima Tsa’labah di akhirat. Allah berfirman, yang artinya;

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksaan yang pedih, pada hari dipanaskannya emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar bersama dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka:’Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan” (QS. At-Taubah 34-35).

Sehubungan dengan itu Rasulullah bersabda;

“Barang siapa yang dianugerahi harta benda oleh Allah, lalu tidak mau berzakat, maka kelak di hari kiamat, harta itu akan menjadi ular jantan yang botak dan mempunyai dua taring. Ular tadi akan membelitnya lalu mematuknya sambil berkata: ‘Inilah aku hartamu, dan inilah aku harta simpananmu” (HR. Bukhari).

Harta yang tidak dikeluarkan zakatnya padahal sudah memenuhi syarat dan rukunnya, maka harta zakat itu akan merusak harta lainnya, baik yang halal atau yang haram. Nabi bersabda;

“Tiada sekali-kali harta zakat mencampuri harta lainnya kecuali akan menghancurkannya”. (H.R. Bukhari).

Mohon diluruskan jika ada kekeliruan dan dimaafkan.

Allahu a‘lam bish-showab.

 

Disadur dari tulisan : Badruzzaman Busyairi

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.