Sekitar lima tahun setelah Rasulullah menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia, berbagai rintangan, tantangan serta ancaman datang silih berganti, dan tak pernah berhenti. Beliau kemudian memerintahkan kaumnya hijrah ke Habasyah atau Ethiopia sekarang, sebelum Hijrah ke Madinah. Sebanyak 101 muslimin dan muslimat, di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib berangkat dari Makkah menuju ke Habasyah. Suatu jumlah yang cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah kaum muslimin yang ketika itu baru berkisar 200-an orang.

Mendengar kaum muslimin pergi meninggalkan Makkah, kaum musyrikin Makkah marah bukan main. Di bawah pimpinan Amru bin Ash dan Amrah bin Walid (ketika itu, keduanya belum memeluk Islam), mereka mengejar kaum muslimin hingga di Habasyah, dan langsung menghadap ke Raja Najasi sembari menyerahkan hadiah-hadiah yang besar.

Kepada raja Najasi, Amru menyampaikan maksud kedatangannya, meminta agar kaum muslimin yang lari ke Habasyah dikembalikan ke Makkah. Sang raja yang belum mengetahui di negerinya ada pelarian orang-orang Islam dari Makkah kaget sekali. Seketika itu juga Raja memerintahkan stafnya untuk memanggil kaum muslimin menghadap kepadanya.

Kaum muslimin kemudian menghadap kepada Raja Najasi dengan terlebih dulu memberi salam tanpa membungkukkan badan. Melihat cara memberi hormat yang demikian, Amru bin Ash berkata kepada raja dengan maksud “memanas-manasi” raja. Melalui penterjemahnya, raja pun bertanya kepada pimpinan kaum muslimin: “Mengapa kalian tidak sujud kepada raja?”.

Ja’far menjawab: “Kami memang tidak akan bersujud kecuali kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi”.

Amru menghasut raja lagi, sehingga raja bertanya kembali kepada Ja’far: “Apa yang menghalangimu bersujud kepadaku dan menyampaikan penghormatan tidak seperti lazimnya orang-orang menyampaikan penghormatan kepadaku?”.

Ja’far menjawab: “Karena sesungguhnya Allah telah mengutus seorang Rasul di antara kami, dan Rasul itu memerintahkan kepada kami  agar kami tidak bersujud kecuali kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi. Beliau mengajarkan kepada kami cara memberi hormat ahli surga dengan salam. Oleh karena itu, kami memberi hormat kepada tuan dengan  penghormatan yang telah berlaku di antara kami satu dengan lainnya”.

Amru kembali menghasut raja, dan raja menanggapinya dengan kritis dan menanyakan kebenarannya kepada Ja’far. Dengan tenang, Ja’far menjawab pertanyaan-pertanyaan raja, sekaligus mematahkan semua tuduhan Amru kepada Islam, Rasul-Nya dan ajaran-ajaran yang dibawanya.

Salah satu pertanyaan raja kepada Ja’far adalah: “Mengapa kalian tidak mengikuti agamaku, yaitu agama Nasrani, dan tidak pula masuk salah satu agama yang dipeluk para raja ?”.

Ja’far menjawab: “Wahai baginda raja. Kami tadinya adalah golongan orang-orang yang hidup dalam suasana kebodohan. Kami menyembah berhala,  memakan bangkai, gemar berbuat jahat dan memutuskan persaudaraan, jahat kepada tetangga, yang kuat memakan yang lemah.  Demikian keadaan kami dulu, sehingga Allah membangkitkan kepada kami seorang Rasul sebagaimana Allah membangkitkan beberapa Rasul kepada orang-orang sebelum kami.  Rasul itu dari bangsa kami, sehingga setiap kami mengetahui silsilahnya, kebenarannya, kepercayaannya dan terpelihara dari perbuatan yang tidak senonoh.

Rasul mengajak kami agar selalu ingat kepada Allah Yang Maha Tinggi, supaya kami meng-esa-kan-Nya dan menyembah kepada-Nya, dan melepaskan semua yang disembah orang-orang tua kami dahulu yang terdiri dari batu-batu, patung-patung, dan lain lain.

Rasul memerintahkan kami supaya menyembah  Allah Yang Maha Esa, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat dan berpuasa. Beliau juga memerintahkan kami berkata benar, memelihara amanat, mempererat persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga, memelihara diri dari perbuatan yang merusakkan dan menumpahkan darah. Beliau melarang kami dari semua perbuatan yang jelek, dan melarang kami menuduh perempuan yang baik dan jujur berbuat jahat. Atas semua itu kami lalu membenarkannya dan mempercayainya, serta selalu mengikutinya.

Akan tetapi ketahuilah, justru bangsa kami memusuhi kami, mengajak kami kembali menyembah berhala, membolehkan semua perbuatan keji dan jahat. Setelah mereka memaksa kami, menindas kami, serta mempersulit ruang gerak kami, dan secara khusus selalu merekayasa agar kami terpisah dari agama kami, maka kami terpaksa hijrah ke negeri tuan”.

Mendengar pernyataan Ja’far, sang raja bertanya lagi: “Adakah sesuatu yang dibawa Rasul  itu?”.

“Ada”, jawab Ja’far.

“Kalau begitu, coba bacakan kepadaku”, kata raja ingin tahu.

Ja’far kemudian membacakan ayat Allah yang telah turun kepada Rasulullah dan telah dihafal oleh Ja’far serta sahabat-sahabat lain dengan baik. Ayat itu tertuang dalam surat ke-19, surat Maryam ayat 1-36, yang isinya antara lain tentang: (1) kerinduan Nabi Zakaria akan lahirnya seorang anak sebagai pelanjut keturunan dan cita-cita, (2) pengangkatan Yahya sebagai Nabi, (3) kehamilan Maryam, (4) kelahiran Isa alahis-salam dan reaksi-reaksi yang muncul di masyarakat.

Mendengar ayat-ayat Allah dibacakan dengan fasih, sang raja menangis, air matanya meleleh membasahi pipi dan janggutnya. Pendeta-pendeta yang mendengarnya pun ikut menangis. Dalam suasana seperti itu, raja berkata:

“Demi Allah, sesungguhnya (yang dibaca) ini dan dibawa oleh Isa, keduanya benar-benar keluar dari satu jendela”.

Tak lama kemudian raja lalu memeluk Islam dan mengembalikan semua hadiah yang dibawa Amru dari para pemuka musyrikin Makkah. Kelak, ketika raja Najasi meninggal, Rasulullah langsung diberitahu oleh Allah pada hari itu juga. Beliau kemudian menyerukan para sahabatnya untuk shalat ghaib atas meninggalnya raja Najasi.

Peristiwa yang sangat dramatis itu diabadikan kembali oleh Allah dalam surat Al-Maa’idah ayat 82 sebagaimana dikutipkan dalam permulaan tulisan ini. Yaitu, golongan yang paling keras memusuhi Islam adalah Yahudi dan musyrikin. Begitu bencinya orang-orang Yahudi kepada Islam, sampai Rasulullah bersabda:

Tidak ada seorang Yahudi yang bertemu dengan seorang muslim sendirian, melainkan ia berniat membunuhnya” (H.R. Ibnu Mardaweh).

Sebaliknya Allah memberitahukan, orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang Nasrani. Yaitu orang Nasrani yang benar-benar mencintai kebenaran yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya seperti Raja Najasi. Karena kecintaannya kepada  kebenaran itu tulus, maka hatinya menjadi terbuka untuk menerima hidayah, petunjuk dari Allah, memeluk Islam. Mereka itu, seperti  ditulis oleh  Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an, adalah orang-orang yang bukan hanya menyebut dirinya orang Nasrani, tetapi orang Nasrani yang benar-benar jujur, memahami dan menerima kebenaran Islam, serta memeluknya dengan tulus ikhlas. Jadi bukan sembarang  orang Nasrani. Mereka itulah yang disebut oleh Allah dalam surat Al-Maa-idah 83-84, yang artinya;

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yanag diturunkan kepada Rasul (Muhammad) kamu lihat matanya berlinangan disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri), seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad Shallallahu alaihi wasallam). Mengapa kami tidak akan  beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami ingin sekali agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh”.

Pemurtadan Dimana-Mana

Lantaran mereka menerima kebenaran Islam, Allah memberi balasan yang sangat mulia, berupa surga (QS. Al-Maa-idah 85). Sebaliknya orang-orang yang menolaknya ditempatkan pada tempat yang layak  sesuai dengan kesombongannya, yaitu neraka (QS. Al-Maa-idah 86). Terhadap orang-orang Nasrani yang tidak mau menerima kebenaran Islam, Allah memperingatkan kita semua agar selalu waspada. Sebab dalam keadaan apa pun, mereka (Nasrani dan Yahudi) akan tetap berusaha mengkafirkan kita kembali (QS. Al-Baqarah 109). Bahkan mereka tidak akan diam sebelum orang-orang Islam masuk ke dalam millah mereka (QS. Al-Baqarah 120).

Mereka terus melakukan berbagai upaya untuk memurtadkan kaum muslimin dengan berbagai macam cara. Di antaranya dengan memberikan bantuan pendidikan, pengajaran, pekerjaan, pengobatan, perekonomian dan keuangan, perkawinan, dan sebagainya. Berbagai bantuan tadi, tidak sedikit yang diiringi dengan tujuan: menjauhkan dan akhirnya melepaskan aqidah Islam dari umatnya, sehingga seorang muslim benar-benar keluar dari Islam. Naudzubillah min dzalik.

Pada mulanya mereka “mencuci” otak kita, sehingga kita menganggap: semua agama adalah sama; agama adalah urusan pribadi; mengucapkan selamat Natal kepada mereka tidak apa-apa; perkawinan beda agama boleh; kebenaran bukan hanya milik Islam; Al-Qur’an itu bukan Kalamullah, melainkan makhluk sehingga bisa dihujat; menganggap kecil masalah yang dihadapi Umat Islam, dan lain sebagainya.

Jika sikap-sikap seperti itu sudah masuk ke dalam diri seorang muslim, maka pertanda pintu pintu pemurtadan akan mudah dibuka. Mereka lalu akan masuk lebih dalam lagi ke dalam diri seorang muslim secara perlahan-lahan sehingga tanggallah keyakinannya. Oleh karena itu waspadalah terhadap bantuan dan pertolongan mereka!

Author : Badruzzaman Busyairi

Leave a Reply

Your email address will not be published.